Demi lancarnya
pembangunan yang akan dilaksanakan, maka panitia pembangunan desa memandang
perlu adanya seorang pemimpin dalam masyarakat/jemaat yang nantinya dapat
memerintah dan men)'usun program-program baru untuk pembangunan perkampungan
yang masih baru tersebut. Untuk merealisasikan maksud tersebut, maka dengan
melalui proses-proses yang seleftlif panitia pembangunan desa menyepakati Bpk.
Adolf Hendrik Tarumampen yang dalam komposisi panitia pembangunan desa ini
duduk sebagai ketua, ditunjuk sebagai pimpinan perkampungan baru tersebut.
Salah satu
program dari pimpinan perkampungan baru Bpk. A.H. Tarumampen dan ada
pembangunan desa dalam rangka memperjelas dan memperkuat keberadaan perkampungan
baru ini yang pengakuan atasnya masih secara de facto adalah memberikan laporan
kepada pemerintah atasan, dalam hal ini kepada Hukum Kedua Motoling Bapak P.
Lengkey. Dalam laporan yang disampaikan pimpinan perkampungan baru tersebut, diantaranya
meny'angkut keberadaan perkampungan yang baru sendiri dan komposisi pemerintahan
yang sudah saatnya dibentuk. Setelah mendengarkan laporan tersebut Hukum Kedua
Motoling langsung memberi izin secara lisan kepada pemerintah/pimpinan perkampungan
baru dan panitia pembangunan desa untuk membentuk susunan pamong desa perkampungan
baru, yang penyusunannya dilaksanakan atas musyawarah panitia pembangunan desa
bersama pimpinan perkampungan baru. Komposisi pamong desa tersebut adalah :
Hukum Tua : Adolf Hendrik Tarumampen
Kepala Jaga Am : Alweijn Werung
Juru Tulis : Agus Jan Semuel Umboh
Kepala Jaga I : Markus Kawulur
Kepala Jaga II : Hildat Sumangkut
Meweteng I : Junus Langi
Meweteng II : Jusuf Pajow
Pengukur Tanah : Wellem Herman Marthen Tarumampen
Tukang Plakat : Semuel Sumangkut.
Setelah
komposisi pamong desa terbentuk, maka panitia pembangunan desa dan pamong desa
menunjuk Bpk H.J.J Tarumampen sebagai pimpinan Jemaatsementara. Alasan ditunjuknya
Bpk H.J.J Tarumampen sebagai pimpinan dikarenakan sesuai beslit yang dikeluarkan
oleh Badan pekerja sinode GMM, beliau bekeqia sebagai guru jemaat di Lompad dan
Jemaat kampung baru sendiri adalah merupakan pemekaran dari Jemaat Lompad.
Dalam menjalanrian tugasnya sebagai pimpinan Jemaat Bpk H.J.J Tarumampen dibantu
oleh seorang wakil yaitu Bpk. Karel Frederik pangemanan.
Untuk lebih
memperjelas keberadaan perkampungan baru ini, beberapa anggota panitia
pembangunan desa memberi usulan tentang nama perkampungan baru tersebut. Nama yang
diusulkan adalah "Metuari". usulan nama tersebut awalnya menimbulkan
pro dan kontra di kalangan anggota panitia pembangunan desa yang lain, namun
dengan prinsip dan musyawarah yang didasari dengan akal sehat untuk
pemufakatan, maka nama Metuari disetujui. Dengan adanya susunan komposisi
kepengurusan pimpinan dalam jemaat dan maslarakat serta dipergunakannya nama
Metuari sebagai nama perkampungan baru, pelaksanaan pembangunan kampung/jemaat
Metuari hari demi hari semakin nyata, antara anggota jemaat/masyarakat
bahu-membahu membangun keberadaan kampung/jemaat Metuari ini.
Di kalangan
pimpinan, pertemuan demi pertemuan dilakukan oleh pamong desa dan pimpinan
jemaat serta panitia pembangunan desa. pertemuan tersebut diarahkan untuk membahas
program-program pembangunan yang akan dilaksanakan untuk pengembangan perkampungan
/ jemaat Metuari. Salah satu keputusan dari pertemuan-pertemuan yang telah dilaksanakan
tersebut adalah dengan ditetapkannya tanggal 27 Juni 1956 sebagai tanggar berdirinya
perkampungan/jemaat Metuari. oleh karena itu pada setiap tanggal 27 Juni tahun berikutnya
jemaat/desa memperingatinya lewat ibadat yang selanjutnya sesudah tanggar 27 Juni
1956 ibadat HUT tersebut masih dilaksanakan di rumah-rumah anggota jemaat yang dipimpin
secara bergilir oleh H.J.J Tarumampen dan K. F. pangemanan.
Pentingnya
pendidikan daram masyarakat/jemaat teryata mendapat perhatian serius dari
pimpinan agama' pemerintah kampung dan panitia pembangunan desa, dimana mereka berusaha
memperjuangkan untuk mendirikan sekolah rakyat GMIM di jemaat Metuari.
Perjuangan dan
usaha untuk mencapai maksud tersebut tidaklah mudah, pengorbanan tenaga dan
dana dicurahkan oleh pimpinan Jemaat, pemerintah dan panitia pembangunan desa serta
dengan dukungan seluruh anggota jemaat / masyarakat dalam rangka terealisasinya
Sekolah Rakyat GMIM di jemaat / masyarakat Metuari tersebut.
Dalam rangka
memperjelas dan mempertegas keberadaan kampung/jemaat Metuari pada tanggal 12
April 1957 diadakanlah persetujuan antara Hukum Tua Lompad Bapak P.A. Rindorindo
dengan Hukum Tua Metuari A. H. Tarumampen. persetujuan yang merupakan sejarah
tersendiri bagi kampung / jemaat Metuari itu dilaksanakan di hadapan pegawai
negeri dan orang tua negeri Lompad serta salah seorang anggota Panitia
Pembangunan Desa Bapak H.J.J Tarumampen . Isi persetujuan yang ditandatangani
oleh Hukum Tua kedua belah pihak tersebut antara lain :
1. Menyetujui Negeri Metuari berdiri
sendiri
2. Menyetujui tanah yang diduduki oleh
mereka yang dalam kepolisian Lompad menjadi kepolisian Metuari.
3. Menyetujui permintaan Pemerintah, orang
tua-tua dan rakyat Metuari memberikan sebagian kepolisian Lompad menjadi
kepolisian Metuari.
Rasa gembira
menyelimuti panitia pembangunan desa dengan dikeluarkannya persetujuan ini,
karena perjuangan mereka untuk lebih memantapkan keberadaan kampung/ jemaat Metuari
telah mendapatkan satu titik terang lagi, dimana dengan dikeluarkannya
persetujuan tersebut secara de facto kampung/ jemaatMetuari telah mendapatkan
pengakuan dan jemaat /desa induk.
Pada
pertengahan tahun 1957, pimpinan jemaat dan panitia pembangunan desa memprogramkan
pembuatan tempat ibadah /gereja di jemaat bagian Metuari yang memang pada waktu
belum memiliki tempat ibadah. Dengan semangat gotong royong dan perencanaan yang
matang dimulailah pembangunan tempat ibadah tersebut yang pembangunannya di bangun
di atas kintal,&halaman sumbangan penolong Injil Altin Lumenta. Meskipun
dengan konstruksi bangunan tradisional, beberapa bulan kemudian pembangunan
tempat ibadah tersebut rampung. Anggota jemaat dan pimpinan serta panitia
pembangunan desa menyambut dengan suka cita atas rampungnya tempat ibadah
tersebut.
Pasca
penandatanganan peranjian antara pemerintah Lompad dan pemerintah Metuari Pada
tanggal 31 Juli 1957 di Jemaat Bagian Metuari diadakan rapat peayanan jemaat bertempat
di gedung gereja. Rapat pelayanan jemaat ini dipimpin oleh H.J.J Tarumampen sebagai
Guru Jemaat Bagian Lompad dan pimpinan sementara jemaat Metuari. pada rapat tersebut
dikeluarkanlah keputusan yang antara lain disepakatinya K.F Pangemanan sebagai guru
jemaat bagian Metuari menggantikan pimpinan sementara jemaat Bpk. H.J.J Tarumampen.
Rapat ini juga menyusun komposisi Majelis gereja dan Badan Penyelenggara Jemaat,
komposisi tersebut adalah :
Majelis Jemaat
:
1. H.J.J Tarumampen
2. Alfrits Tampanguma
3. Karel Fredrik Pangemanan
Badan
Penyelenggara Jemaat Bagian
1. Alfrits Tampanguma Ketua I
2. Jusuf Pajow Ketua
II
3. Markus Kawulur Panitera
4. Han Johanis Jusuf Tarumampen Bendehara
5. Karel Frederik Pangemanan Anggota
6. Adolf Hendrik Tarumampen Anggota
7. Edi Agus Rantung Anggota
Meskipun
keberadaan jemaat bagian Metuari baru berdiri tapi kepercayaan dari Majelis atasan dalam hal ini Majelis Gereja Am Jemaat
Motoling telah nampak, hal ini dapat dilihat dengan dilaksanakannya rapat/sidang
Majelis Gereja Am Jemaat Motoling di Jemaat Bagian Metuari pada tanggal 7
Desember 1957. Sidang ini sendiri dipimpin oleh Badan Pekerja Jemaat Motoling
dan dihadiri oleh Ketua Sinode GMIM Bpk. Ds. A.Z. Wenas, dan diikuti oleh 18
Jemaat bagian. Pelaksanaannya berlangsung dengan aman dan sukses berkat penduduk
undangan pemerintah dan anggota jemaat yang ada.
Pada tahun
1958/1959 di daerah Minahasa terjadi pergolakan permesta. Akibat dari pergolakan
ini masyarakat/jemaat mengalami banyak penderitaan, sama seperti jemaat/ masyarakat
lain di Minahasa, jemaat bagian Metuari terkena imbas pergolakan tersebut. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan anggota jemaat terpaksa harus meninggalkan
jemaat bagian Metuari dan mengungsi ke tempat yang lebih aman. Daerah yang
dianggap aman untuk tempat mengungsi adalah di seberang sungai Ranoyapo. Selama
dalam pengungsian tersebut meskipun secara fisik/batin anggota jemaat sangat menderita
tetapi dalam hal kerohanian jemaat tetap melaksanakan pelayanan ibadat untuk
meminta perlindungan dari Tuhan Yesus, meskipun tidak jarang juga pada waktu melaksanakan
ibadah tersebut amukan kapal terbang yang memuntahkan peluru dan bom terus menjadi
ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa jemaat, namun dengan iman yang teguh
anggota jemaat selalu menyandarkan diri di hadapan Tuhan Yesus.
Pada tanggal
22 Juli 1959 meskipun keadaan belum pulih benar anggota jemaat yang berada
dalam pengungsian sedikit demi sedikit kembali ke jemaat/perkampungan Metuari. Dalam
proses kembalinya anggota jemaat tersebut ada 2 anggota jemaat yang pertama
kali melapor kepada APRI Batalyon X Brawijaya. Ke 2 orang tersebut adalah
Gerson Rantung dan W.A. Sumangkut. Kepedihan terasa dalam diri jemaat dimana
setelah kembali dari pengungsian, mereka menemukan rumah-rumah yang dengan
segala upaya dan daya telah mereka bangun musnah rusak terbakar oleh pergolakan
yang terjadi.
Ternyata di
antara jemaat bagian Metuari yang kembali dari pengungsian tersebut juga beberapa
anggota jemaat dari jemaat bagqan tetangga yaitu jemaat Powalutan, Lompad, Mopolo
dan Kalait. Saat itu karena dirasa keadaan belum normal oleh Pemerintah (APRI) memerintahkan
bahwa di jemaat bagian Metuari akan menjadi tempat pengungsian dari jemaat
Lompad, Powalutan, Picuan dan sebagian Mopolo dan Kalait.
Untuk
kesinambungan pelayanan ibadat, dengan melihat sarana peribadatan milik jemaat
bagian Metuari telah rusak maka atas izin dari Badan Pekerja Jemaat dan Pemerintah
Lompad, gereja milik jemaat bagian Lompad dipindahkan ke jemaat bagian Metuari.
Dengan adanya izin tersebut jemaat dengan semangat gotong royong memindahkan
dan membangun gereja yang akan menjadi tempat peribadatan bersama tersebut.
Dalam hal
pelayanan Injil oleh Badan Pekerja Jemaat Motoling dengan suratnva tertanggal 29
Oktober 1959 No. 28/X/I memberikan rekomendasi kepada H.J.J. Tarumampen yang
juga sebagai wakil dari Badan Pekerja Jemaat Motoling untuk mengatur pelayanan
bagi jemaat-jemaat bagian yang berada dalam pengungsian. Dalam melaksanakan
tugasnya beliau mengadakan Sidang Majelis gereja jemaat-jemaat yang ada dalam
sidang tersebut telah diambil keputusan-keputusan yang antara lain adalah :
Tempat ibadah
disatukan pada jemaat bagian Metuari
Pelayanan
jemaat akan diadakan kejasama dengan pemimpin dari jemaat-jemaat bagian
tersebut.
Pejuuangan
jemaat disatukan
Gedung gereja
yang berasal dari jemaat Lompad tidak akan dikembalikan, bila anggota jemaat
Lompad kembali ke Desa Lompad nanti.
Selama kampung/jemaat
bagian Metuari menjadi tempat pengungsian, proses belajar mengajar di sekolah
rakyat GMIM tetap dilaksanakan, meskipun gedung sekolah yang mereka pakai
selalu berpindah tempat, namun semangat belajar dan mengajar tetap terlihat dalam
diri murid-murid dan guru-guru yang ada.
Pada saat
jemaat bagian Metuari menjadi tempat pengungsian, di bidang pemerintahan yang
karena adanya pergolakan, oleh Pemerintah atasan mempercayakan kepada Frederik walla
untuk menjadi Kepala Pemerintahan, kemudian diserahkan kepada Paul Rindorindo yang
juga sebagai Hukum Tua Lompad untuk memimpin dan mengatur keberadaan masyarakat
/ jemaat saat itu.
Meskipun
kampung / jemaat bagian Metuari saat itu menjadi tempat pengungsian oleh 4
desa/jemaat, tugas panitia pembangunan desa terus berjalan, salah satu program mereka
adalah mengadakan perluasan perkampungan. perluasan perkampungan ini dilaksanakan
dimana ada beberapa anggota jemaat dari luar jemaat bagian Metuari yang berada
dalam pengungsian tersebut telah berkeinginan membangun tempat tinggal di perkampungan/jemaat
bagian Metuari. Perluasan ini diarahkan di bagian timur yaitu di tanah dari
Bapak Arnold Mema (seorang warga Motoling). untuk mencapai maksud tersebut, panitia
pembangunan desa selanjutnya menemui dan melakukan negosiasi dengan Bapak. Arnold
Mema. Dari hasir negosiasi tersebut beliau menginginkan perluasan perkampungan tersebut
dengan syarat-syarat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Dikarenakan
keadaan Minahasa saat itu masih belum menentu atau masih kacau, maka oleh
Pemerintah memerintahkan agar nama Metuari diganti dengan nama Lompad Baru. Alasan
diiakukannya pergantian nama tersebut, oleh pemerintah menyatakan bahwa dikarenakan
nama Metuari sendiri belum sepenuhnya dikenal secara luas. pihak pemerintah dan
pimpinan jemaat bagian Metuari serta panitia pembangunan desa dapat memaklumi permintaan
Pemerintah tersebut, dan menerima nama Lompad Baru sebagai nama kampung/ jemaat
menggantikan nama Metuari.
Pada tahun 1963
dirasa keamanan telah pulih dari pergolakan, maka anggota-anggota jemaat yang
berasal dari jemaat Powalutan, Lompad, Mopolo dan Kalait yang berada di pengungsian
berangsur-angsur kembali ke jemaat desa masing-masing namun ada beberapa anggota
jemaat dari ke-4 jemaat/desa tersebut yang telah mendirikan tempat tinggal di kampung/jemaat
bagian Lompad Baru sudah berniat untuk pulang ke desa/jemaatnya.
Rasa haru
menyelimuti proses perpisahan anggota-anggota jemaat ini dengan jemaat bagian
Lompad Baru, dimana suka dan duka telah dijalani bersama selama dalam pengungsian
yang diakibatkan oleh pergolakan tersebut. Para pengungsi dengan tangis air mata
hanyalah bisa mengucapkan banyak terima kasih kepada pemerintah kampung dan pimpinan
jemaat serta anggota jemaat bagian Lompad Baru yang dengan segala kepeduliannya
telah banyak membantu mereka pada waktu pengungsian.
Dengan
kembalinya para pengungsi ke desa/jemaahya masing-masing tersebut, maka dalam
pemerintahan yang pada waktu itu dipegang oleh Paul Rindorindo diserahkan
kepada pemerintah atasan, hal tersebut karena Paur Rindorindo sendiri merupakan
Hukum Tua Lompad' untuk mengisi kekosongan dalam pemerintahan ini, maka
pemerintah atasan menetapkan Bapak A.J. Waworuntu sebagai Hukum Tua Lompad Baru
saat itu.
Tugas
pemerintah dan pimpinan jemaat serta panitia pembangunan desa waktu itu sangatlah
berat' dimana untuk melakukan pasivikasi atas keberadaan infrastruktur yang ada
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, namun dengan semangat membangun
yang ada, pemerintah dan pimpinan jemaat serta panitia pembangunan desa
melanjutkan proses-proses pembangunan tersebut. Menapaki tahun 1965 pemerintah atasan
dengan surat Keputusan tertanggal 8 Oktober 1965 No. 477/6 memberikan otonomi
terbatas kepada desa Lompad Baru' surat Keputusan tersebut sendiri
ditandatangani oleh wakil Kepala distrik Motoling/ Hakim Besar Bapak. A.
Masinambow.
Pada tahun
1966 dengan topangan penuh dari pemerintah, jemaat mengusahakan membangun
gedung gereja yang berbentuk semi permanen, karena pada saat itu dirasa bahwa' gedung
gereja yang berasal dari jemaat Lompad sudah tidak layak untuk dipergunakan. Pembangunan
gedung gereja tersebut dibangun di atas lahan yang dihibahkan oleh bekas penolong
Injil Altin Lumenta.
2.1 Nama Jemaat
Dan sejarah
yang ada nama jemaat Lompad Baru pada mulanya bernama jemaat bagian Metuari. Nama Metuari ini awalnya
diusulkan sendiri oleh beberapa pendiri desa (founding fathers) yang tergabung
dalam panitia pembangunan desa, meskipun pemberian nama Metuari pada awalnya
menimbulkan pro dan kontra di kalangan panitia pembangunan desa sendiri, namun
dengan jiwa membangun yang ada, nama tersebut (Metuari) dipergunakan. Metuari sendiri
merupakan akronim dari : Melaksanakan Tuntutan Republik Indonesia, pasca
berdirinya jemaat, nama Metuari inilah yang dipakai, sehingga pada waktu itu
jemaat Lompad Baru disebut jemaat bagian Metuari.
Dipakainya
nama Metuari ini dapat dilihat dari persetujuan yang diadakan pada tanggal 12
April 1957 antara Hukum Tua Lompad P.A. Rindorindo dengan Hukum Tua Metuari
(Lompad Baru) A. H. Tarumampen. Salah satu isi dari persetujuan yang dilakukan
di hadapan pegawai negeri dan orang tua negeri Lompad antara lain berbunyi :
“Menyetujui negeri/jemaat Metuari berdiri sendiri"
Nama Lompad
Baru sendiri nanti ada setelah adanya instruksi dari pemerintah pada waktu
pergolakan Permesta di Minahasa, dimana pemerintah memintakan nama Metuari
diganti dengan nama Lompad Baru. Hal pergantian nama tersebut dilaksanakan
karena nama jemaat/kampung Metuari sendiri belum terlalu dikenal secara luas
pada masa pergolakan tersebut. Alasan konkrit lain yang mendasari
dipakainya/disetujuinya nama Lompad Baru tersebut adalah dikarenakan mayoritas
penduduk/anggota jemaat yang bermukim di jemaat kampung Metuari pada waktu itu
merupakan penduduk/jemaat yang Exodus dan jemaat/desa Lompad.
2.2 Sejarah Pendidikan Jemaat
2.2.1 SR/Sekolah Dasar GMIM
Pasca
berdirinya jemaat Lompad Baru tahun 1956, para tokoh-tokoh jemaat waktu itu
merasa perlu adanya pendidikan dalam jemaat, maka dengan segala daya dan upaya
mereka memperjuangkan Sekolah Rakyat
(GMIM) yang dimaksudkan, langkah pertama yang diambil adalah mengajukan
permohonan kepada yang berwajib pada waktu itu untuk pelaksanaan pembangunan
gedung sekolah. Pada saat itu perekonomian jemaat belum stabil, dimana sebagian
harta mereka habis oleh kebakaran yang terjadi pada waktu masih berada di desa
Lompad walau dari pihak berwajib belum memberikan rekomendasi secara jelas akan
adanya Sekolah Rakyat GMIM tersebut, namun kendala tersebut tidak menyusutkan
niat tokoh-tokoh jemaat dan jemaat sendiri untuk membangun sekolah rakyat ini.
Tokoh-tokoh jemaat dan warga jemaat bahu-membahu mencari dana untuk pembangunan
Sekolah Rakyat yang rencana akan dibangun dengan ukuran 7 x 6 m (3 bilik) di lokasi
yang bakal pula untuk didirikan tempat ibadah yang telah dihibahkan oleh
penolong injil Bpk Altin Lumenta kepada jemaat. Adapun dana yang terkumpul
untuk pembangunan gedung sekolah, selain merupakan swadaya jemaat juga ada
sumbangan dana pembangunan yang diberikan oleh Kepala Daerah Minahasa yaitu Bapak
Laurens Saerang sebesar Rp. 50.000,- (Lima puluh Ribu Rupiah). Para pemuda pun
tidak tinggal diam, dengan segala upaya memberi andil untuk pembangunan sekolah
tersebut' salah satunya yaitu mencari dana lewat sumbangan yang diberikan oleh
penumpang kendaraan yang melalui trans Motoling-pontak .
Dengan
upaya-upaya serta doa maka pembangunan gedung sekolah Rakyat tersebut selesai,
dimana pada hari Minggu tanggal 26 April 1956 gedung tersebut ditahbiskan oleh
Pendeta J. M. Tambayong dengan ibadah, yang merupakan pokok perenungan waktu
itu diambil dalam Yohanes 4:23. Acara pentahbisan tersebut turut dihadiri bapak
penolong Injil Bpk' Altin Lumenta dan berkesempatan memberikan sambutan. Masih
dalam rangkaian acara pentahbisan, para tokoh jemaat dan jemaat mengajukan
permohonan untuk yang kedua kalinya kepada yang berwajib untuk dibangunnya Sekolah
Rakyat GMIM. Pada bulan oktober 1956 permohonan tokoh-tokoh jemaat terealisasi
dengan adanya surat Keputusan dari Kepala urusan persekorahan GMIM tertanggal
11 Oktober 1956 No. XV/2154/X56 yaitu isinya menyetujui pembukaan sekolah
Rakyat di perkampungan yang baru ini, dengan syarat bahwa sekolah ini merupakan
filial atau masih merupakan cabang dari sekolah Rakyat GMIM Lompad. Seterah
mengantongi SK tersebut para tokoh jemaat pada saat itu juga membuat permohonan
kepada Kepala Dinas Pendidikan pengajaran dan Kebudayaan Daerah Minahasa di
Manado. Pada tanggal 1 November 1956 SR GMIM ini dibuka. Pembukaannya dilaksanakan
oleh Bapak H.J Tanor sebagai Kepala SR Lompad. Pada waktu itu Bapak. H. J.
Tanor langsung menugaskan Abednego Tarumampen sebagai guru pertama pada Sekolah
Rakyat GMIM di kampung baru tersebut.
Pada tahun
1957, oleh Kepala SR GMIM Lompad menugaskan lagi seorang guru pembantu yaitu
Detje Rambi ke SR GMIM'' Kampung Baru yang masa tugasnya sampai dengan
pergolakan Permesta. Setelah kembali dari pengungsian akibat pergolakan
permesta tersebut Detje Rambi diganti oleh Itje Kawatu yaitu pada tahun 1958
s/d 1959.
Pada tahun
1959, berhubung halaman yang dipakai untuk mendirikan sekolah akan digunakan
untuk pembangunan gedung gereja (yang pada waktu itu berasal dari Lompad yang kemudian
akan difungsikan sebagai tempat ibadah bersama jemaat dari 2 desa yang mengungsi
akibat pergolakan Permesta ke kampung baru yaitu jemaat Powalutan dan Lompad)
maka atas kerelaan Jong Lumenta gedung sekolah tersebut dipindahkan ke
kintalnya (sekarang kintal Pitong Pendong). Sebagai guru yang bertugas di
sekolah waktu itu, yang merupakan wakil tetap dan guru pertama adalah samuel
Djidon Tarumampen yang dibantu oleh Tumewu, Frederik Lumenta, Wilem Adorf Sumangkut
(pengangkatan mulai l Nopember 1959) dan Nina Albertina Tarumampen yang
merupakan bekas guru SR GMIM Poopo dan Carolina Tarumampen (pengangkatan murai
l Nopember 1959). Sedangkan untuk Kepala
Sekolah masih dipegang oleh H. J Tanor.
Pada waktu itu
tokoh-tokoh jemaat merasa juga perlu adanya kintal dan lapangan sekolah yang
nantinya merupakan milik jemaat, sebuah konsep pemikiran yang dikemukakan oleh
Ketua Badan Penyelenggara Sekolah Rakyat GMIM Lompad Baru adalah harus membeli tanah’
Ide yang dimaksudkan adalah tanah dari Arnold Mema. Konsep tersebut diterima
dan didukung sepenuhnya oleh jemaat sehingga menjadi program bersama jemaat.
Awal pelaksanaan program tersebut, seorang anggata jemaat Bapak A.W.F. Purukan
telah menyediakan dana sebagai dan pinjaman untuk maksud tersebut.
Peran
pemerintah desa untuk mensukseskan program ini pada waktu itu sangatlah besar
dimana atas pimpinan Hukum Tua A. J. waworuntu bersama panitia pembangunan mereka
membuat program mencari dana untuk pembayaran tanah ini. salah satunya adalah membuat
blok/kintal atas tanah di sekeliling tanah milik Arnold Mema tersebut yang merupakan
tanah desa dan kemudian menjual kepada keluarga-keluarga yang memerlukan kintal.
Usaha pencarian dana awal tersebut tenyata belum mencukupi untuk pembayaran tanah'
tapi dengan lobi dan usaha yang kuat dari jemaat dan bantuan pemerintah desa,
maka pada tanggal 24 september 1964 melalui Bendahara panitia pembangunan Desa/
Jemaat Bpk' H.J.J Tarumampen membayar kintal ditambah lapangan tersebut kepada
Arnold Mema dengan jumlah Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan selanjutnya
menyerahkan kintar dan lapangan tersebut kepada Badan Pekerja Jemaat Lompad
Baru. Atas bantuan pemerintah Desa, maka sejak saat itu mulailah dibangun
sebuah gedung SD GMIM Lompad Baru di tanah yang baru dibeli dengan ukuran 21 x 7
x 6 m dan pembangunannya rampung bulan Mei 1965' Akan tetapi malang menimpa
gedung sekolah tersebut, pada tahun 1966 bangunan ini ambruk yang diakibatkan
oleh angin kencang (selenduk). Kejadian tersebut tidaklah menciutkan harapan
untuk memajukan pendidikan di jemaat sesudah musibah ambruknya sekolah itu
dengan bantuan pemerintah dan pimpinan gereja, seluruh jemaat bekerja sama membangun
sebuah gedung yang berbentuk semi permanen yang diharapkan tidak mudah ambruk lagi
yang berukuran 27 x 7 m (3 bilik). pada tahun 1968 pembangunan gedung sekolah
tersebut rampung sehingga para murid dapat sekolah kembali.
Pada tahun
1970 gedung SD GMIM direncanakan akan direhabilitasi, maka pada tanggal 4 Juli
7970 diadakan pembentukan panitia gedung SD GMIM Lompad Baru dengan susunan
sebagai berikut :
Ketua I : A. H. Tarumampen
Ketua II : J. T. Merentek
Panitera : A. J. S. Umboh
Bendahara : J. E Kawulur
Anggota : G. Rantung
Untuk
mensukseskan program rehabiritasi gedung SD GMIM tersebut warga jemaat bahu-membahu
membantu panitia yang telah ada dengan bergotong royong mengangkat bahan
material (batu/kerikil) di seberang sungai Ranoyapo. Proyek ini rampung pada bulan
Maret 1973.
Pada tahun
1977 gedung SD GMIM Lompad Baru tersebut mendapatkan bantuan dana rehabilitasi
untuk yang pertama kali dari GMIM sebesar Rp. 50.000,_ (Lima puluh Ribu Rupiah)
yang dialokasikan untuk pembuatan dinding dari beton bagian belakang, sekad dan
gudang. Proyek pekerjaan ini dibantu oleh Hukum Tua J. A. Kalalo.
Tahun 1987
mendapat bantuan rehabilitasi ringan dari pemerintah sebesar Rp' 1'000'000,-
(Satu Juta Rupiah), dan dengan kebijaksanaan oleh lembaga sosial desa memprogramkan
untuk menambah ruang di bagian selatan, dengan demikian ruang belajar menjadi 4
bilik.
Tahun 1982
mendapat lagi rehabilitasi ringan dari pemerintah sebesar Rp. 2.500.000,-(Dua
Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) yang dipergunakan untuk membuat lantai beton, plafon,
gudang dipindahkan ke belakang, emperan, serta penggantian sebagian atap zink.
Pada tahun
1982 mendapat lagi proyek tambah ruang dan pemerintah yaitu menambah 2 (dua)
ruang dengan ukuran 14 x 7 m yang dibangun di sebelah utara yang memanjang dari
barat ke timur, dengan demikian jumlah bilik yang digunakan telah menjadi 6 bilik
yang pemakaiannya dimulai tahun 1983.
Dengan
dukungan jemaat dan pemerintah serta perkembangan yang ada sampai saat ini
jemaat Lompad Baru telah memiliki Gedung Sekolah yang representatif, dan dari masa
ke masa ternyata sampai saat ini dengan didukung oleh tenaga guru yang
berkualitas SD GMIM Lompad Baru tetap eksis mencetak sumber daya manusia yang
berkualitas yang berasal dari jemaat Lompad Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar